Senin, 27 Agustus 2012

Ingin Melihat Sumut Sejahtera, Cornel Maju Cagubsu


Koalisi Pelangi Sumut, 28/08/12
Lahir di Pangururan, 14 Juli 1951, Cornel Simbolon menghabiskan masa kecilnya di Pangururan, pulau Samosir, puncak kaldera gunung Toba, sebuah pulau di dalam pulau Sumatera. Masa kecilnya akrab dengan suasana kesetiakawanan sosial dengan lanskap danau dan kultur agraris yang damai. Kesejukan dan kedamaian alam yang berada persis di sekeliling aliran air salah satu danau terindah di dunia yakni Danau Toba ini membuatnya tak pernah “terasingkan” dari Sumatera Utara khususnya tanah kelahirannya. Walau pilihan untuk mengabdi kepada negara dalam waktu yang cukup lama membuatnya harus terpisah.
Selepas menamatkan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar dari kampung halaman, lelaki yang dikaruniai dua putra ini melanjutkan studinya ke kota yang masih berada di propinsi yang sama, Pematang Siantar. Ijazah Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas diraihnya di sini. Bertahun-tahun hidup di wilayah yang warganya dikenal dengan sebutan “Siantar Man” tersebut membuatnya mengenal detail setiap sudut kota. Apa saja yang sudah berubah atau masih utuh tanpa ada perkembangan sedikitpun, ingatannya boleh diuji.

Sebagai anak seorang petani sederhana, Cornel tidak memiliki banyak pilihan untuk melanjutkan cita-citanya begitu tamat dari SMA di Siantar. Anak sulung dari delapan bersaudara ini memilih mengikuti test AKABRI, karena proses seleksinya tidak memungut biaya pada masa itu.

Lulus test AKABRI, Cornel muda pun menjalani masa masa taruna, dimana disiplin, kerja keras, da nasionalisme ditempa. “Darah saya tersirap dan merinding ketika mengucapkan sumpah prajurit. Bagi saya, sumpah itu dibawa mati. Itulah sebabnya darah bela negara dan rakyat adalah panggilan vokasional yang tetap saya pegang teguh,”Ungkap mantan jenderal berbintang tiga ini mengenang pengangkatan sumpahnya tahun 1973 sebagai prajurit Angkatan Darat.

Magelang, Jawa Tengah, yang merupakan tempat beradanya Lembah Tidar adalah arena pergulatan hidup berikutnya bagi Cornel Simbolon. Disini bekal yang paling menentukan dalam cita-cita hidupnya didapatkan. Persisnya adalah di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Angkatan Darat. Sekarang Akademi ini berubah menjadi Akademi Militer Nasional. Orang-orang besar yang perannya cukup menentukan perjalanan bangsa tidak sedikit dilahirkan di sekolah ini. Sebutlah misalnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di kelas yang sama dan pada tahun yang sama keduanya menyelesaikan pendidikannya di AKABRI pada 1973.

Bayangkan sebuah anak panah yang dilesatkan dari busurnya, adakah yang tahu sejauh mana dia bisa terbang dan di titik mana akan berhenti? Sampai semangatnya masih terkandung di badan, tidak akan pernah berhenti. Begitulah sosok pria yang resmi menyandang pangkat Letnan Dua sebegitu tamat dari sekolah militernya pada 1973 ini. Berawal dari pangkat tersebut, perjalanan panjang sebagaimana anak panah dimasukinya. Penugasan demi penugasan diembannya. Dari operasi yang satu ke operasi berikutnya, cukup banyak dilakoninya. Diikuti kenaikan pangkat secara bertahap hingga menuju puncak. Kota demi kota atu wilayah demi wilayah penugasan dimasukinya. Dalam maupun luar negeri. Tercatat 21 negara sepanjang masa pengabdiannya sudah didatanginya. Asia, Eropa, Afrika hingga Amerika.

Dari “hanya” Komandan Peleton hingga orang nomor dua di TNI Angkatan Darat. Selama 36 tahun karir militer dijalaninya hingga memasuki masa pensiun pada 2008. Nyaris tak satupun tangga perjalanan karir kemiliteran yang tak disinggahinya. Cornel semakin sempurna sebagai seorang prajurit, ketika mendapatkan dua medali paling prestisius di Angkatan Darat, yakni Bintang Yudha Dharma dan Kartika Eka Paksi.

Satu ketika di masa keemasan kiprah ketentaraannya,  jabatan Panglima Kodam Diponegoro yang berkedudukan di Semarang diembannya. Puncaknya, Cornel menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Teramat langka seorang dari kalangan non-jawa dan juga non-muslim mendapatkan kedudukan prestisius semacam itu. Lebih dari sekedar prestasi, loyalitas dan kematangan yang dimiliki seorang tentara secara umum, itulah yang mengantarkannya ke kedudukan itu.

Jauhkan keraguan akan pemahaman terhadap Sumatera Utara dengan segala kompleksitas persoalannya pada sosok pemegang 13 jenis penghargaan ini. Paling tidak bagian-bagian penting yang jadi landmark atau ikon kota serta tempat-tempat yang pernah disinggahinya secara rinci dapat dijelaskannya di masa lalu dan kini. Sejak tahun 1963 ketika meninggalkan kampung halamannya menyeberang menuju Kota Pematang Siantar dia tahu menjelaskan maju, jalan di tempat atau mundur. 

Ada rasa geram dan hati yang geregetan di diri pria yang pernah meraih penghargaan UN Medals dari Perserikatan Bangsa Bangsa ini menatap Sumatera Utara. Dulu kekagumannya berlipat-lipat. Dengan kekayaan alamnya yang melimpah Sumatera Utara pernah menjadi penyumbang signifikan bagi kemajuan perekonomian nasional. Entah itu dari perkebunan sawit atau komoditi lainnya (seperti karet, kopi), minyak dari Pangkalan Brandan dan Bangkalan Susu, perikanan serta yang lainnya.

Kaum cerdik pandai serta pemberani di awal-awal era kemerdekaan dan orde baru entah berapa banyak yang latar belakangnya adalah kelahiran Sumatera Utara. Mereka adalah pemikir yang berkontribusi penting dan tak sedikit bagi perkembangan bangsa ini. Menyebut beberapa nama adalah Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, David Napitupulu dan sebagainya. Bagaimana kondisi Indonesia saat ini nama-nama itu ikut member warna.

Atlit-atlit handal juga tercatat pernah lahir dari daerah ini. Tim sepakbola PSMS yang dikenal dengan sebutan Ayam Kinantan, misalnya. Di era 80-an kesebelasan ini begitu dicintai berkat ketangguhannya menjuarai turnamen nasional yang diikuti seluruh tim dari belahan nusantara. Tak ada lawan yang tak menyegani. Entah sudah berapa kali supremasi tertinggi yang menandai tim dengan kwalifikasi terhebat direbut PSMS. Disertai cabang-cabang lainnya semacam renang atau polo air, kian menguatlah keharuman akan nama Sumatera Utara dari dunia olahraga.

Apakah catatan-catatan baik itu saat ini masih dimiliki rakyat Sumatera Utara? Suami Elisabeth Ratnasari Sagala ini tak berani menjawab “YA”. Siapapun tahu bagaimana kondisi provinsi dengan penduduk berjumlah kurang lebih 13 juta ini. Yang pasti dia mengerti sedikit sekali perkembangan positif yang terjadi. Secara fisik misalnya di banyak titik tak ada perubahan sama sekali dari yang pernah dilihatnya di masa lampau. Sedikit menjelaskan; beberapa dekade lalu untuk perjalanan dengan menggunakan bus dari Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya yang berjarak kurang dari 90 km hanya menghabiskan waktu tak lebih dari dua jam. Sekarang ini, tak bisa diprediksi!

Itu baru satu bukti. Kondisi infrastruktur Sumut menurutnya tidak sepatutnya seburuk yang tampak saat ini. Betapa memprihatinkannya bila membuang-buang waktu berjam-jam ke satu tujuan akibat jalan yang keadaannya begitu buruk padahal provinsi ini sangat kaya. Pengusaha kaya DL Sitorus yang adalah salah satu pemilik kebun luas yang tersebar di beberapa kabupaten disebutkannya setiap harinya meraup pendapatan Rp 10 miliar. Dalam setahun setara dengan Rp 3 triliun lebih. Tentu saja PTPN III atau perkebunan-perkebunan lainnya dengan luas berkali lipat menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar lagi. Miris sekali kalau keadaan Sumut justru tak membaik.
Keprihatinan dan kegelisahan semacam ini yang kini menggelayut di jiwa sang jenderal . Jelas bukan semata-mata oleh alasan jabatan atau keuntungan pribadi lainnya kalau dia kini berhasrat ikut bertarung memperebutkan jabatan menjadi Gubernur atau orang nomor satu di Sumatera Utara.(end)

1 komentar:

  1. atribut pilkada. jika butuh atribut pilkada yang murah dan bagus, silahkan klik: www.jasalmamater.info

    BalasHapus